Rabu, 28 Oktober 2009

http://satwic-spiritual.blogspot.com/search?updated-min=2009-01-01T00%3A00%3A00-08%3A00&updated-max=2010-01-01T00%3A00%3A00-08%3A00&max-results=21

Rabu, 23 September 2009

Kiriman 1
Mangku Suro (Indonesia) menulispada 15 September 2009 jam 21:29
BALI POST
» Berita Ajeg Bali
15 September 2009 | BP

Tikus Putih dan Poleng Muncul

Warga Ababi Mesti Gelar Ngaben Tikus

Ketua Badan Perwakilan Desa Ababi, Karangasem I Ketut Semadiyasa mengatakan, berbagai cara sudah ditempuh petani di berbagai subak di desa Ababi, Karangasem guna menanggulangi hama tikus. Namun, hama pengerat itu tak tertanggulangani, bahkan cenderung membanyak, sehingga merugikan petani setempat sampai 90 persen bahkan gagal panen total karena sejak bibit sudah terserang. Menurutnya Selasa (15/9) di Amlapura, dari segi luas areal yang terserang jika dilihat dari total luas persawahan di kecamatan Abang, memang terlihat kecil. Namun petani di persawahan dan ladang di desa Ababi dan sekitarnya, selama ini sangat dirugikan. ‘’Hampir 90 persen tanaman petani ludes diserang, bahkan mulai dari bibit. Jadi apa yang mereka makan?’’ katanya.

Serangan tikus bahkan dilaporkan sudah ada sampai ke wilayah Basangalas. Salah seorang petani desa setempat Made Rangki mengatakan, padinya di serang tikus meski belum berbuah tetapi dari pangkalnya dikerat. Di Ababi tak hanya di sawah, juga menyerang ke ladang tak hanya padi dari bibit, tetapi juga cabai, ketela rambat dan ketela pohon. Diakui Semadiyasa, pihak Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Karangasem melalui PPL sudah pernah membantu 12 alat pengempos dan belereng. Alat itu dipakai ratusan petani melakukan pengropyokkan tikus bulan lalu. Namun cara skala itu belum mampu menanggulangi populasi hama tikus. Ratusan tikus yang berhasil ditangkap dikuliti. Sebelumnya juga sudah dilakukan peneduh di pura puseh dan sejumlah pura lainnya di desa pakraman Ababi. ‘’Kulit tikus itu dipakai sarana saat pengabenan.

Prosesi dan bebantenannya nyaris sama dengan me-ngaben-kan orang. Juga memakai pengiriman, dan anggaran yang kita susun biayanya mencapai Rp 75 juta. Ini apa sepenuhnya mampu ditanggung petani? Selama ini upacara itu lama tak mampu digelar karena terbatasnya kemampuan petani,’’ paparnya. Dikatakan masih ada satu ritual yang belum dilakukan yakni pengabenan jero ketut (tikus). Upacara itu zaman dulu rutin digelar tiap 10 tahun sesuai bhisama. Di mana, saat mrana (hama tikus) merajalela, apalagi kalau sudah muncul tikus berbulu merah, poleng atau putih. ‘’Ada beberapa orang sekitar enam bulan lalu melihat tikus besar berbulu putih. Sejumlah tikus lainnya yang berbulu coklat atau hitam, membawakan tikus putih itu padi ke tempatnya di pohon,’’ kata Semadiyasa.

Pengabenan tikus di desa setempat direncanakan pada sasih kapitu ini, sekitar pertengahan Desember sampai Januari. Pengabenan tikus di desa setempat terakhir tahun 1992, yakni sudah 17 tahun. ‘’Jadi dari segi logika, sudah 17 tahun tak digelar ngaben tikus, tentu kini populasinya sudah sangat banyak sampai menyebabkan kerugian di atas ambang ekonomi. Tikus yang ditemukan besar-besar, paling parah menyerang di subak Gunung, Embukan dan Bekukih sampai ke Tauka,’’ katanya. (bud)
Mangku Suro (Indonesia) menulispada 15 September 2009 jam 21:29
BALI POST
» Berita Ajeg Bali
15 September 2009 | BP

Tikus Putih dan Poleng Muncul

Warga Ababi Mesti Gelar Ngaben Tikus

Ketua Badan Perwakilan Desa Ababi, Karangasem I Ketut Semadiyasa mengatakan, berbagai cara sudah ditempuh petani di berbagai subak di desa Ababi, Karangasem guna menanggulangi hama tikus. Namun, hama pengerat itu tak tertanggulangani, bahkan cenderung membanyak, sehingga merugikan petani setempat sampai 90 persen bahkan gagal panen total karena sejak bibit sudah terserang. Menurutnya Selasa (15/9) di Amlapura, dari segi luas areal yang terserang jika dilihat dari total luas persawahan di kecamatan Abang, memang terlihat kecil. Namun petani di persawahan dan ladang di desa Ababi dan sekitarnya, selama ini sangat dirugikan. ‘’Hampir 90 persen tanaman petani ludes diserang, bahkan mulai dari bibit. Jadi apa yang mereka makan?’’ katanya.

Serangan tikus bahkan dilaporkan sudah ada sampai ke wilayah Basangalas. Salah seorang petani desa setempat Made Rangki mengatakan, padinya di serang tikus meski belum berbuah tetapi dari pangkalnya dikerat. Di Ababi tak hanya di sawah, juga menyerang ke ladang tak hanya padi dari bibit, tetapi juga cabai, ketela rambat dan ketela pohon. Diakui Semadiyasa, pihak Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Karangasem melalui PPL sudah pernah membantu 12 alat pengempos dan belereng. Alat itu dipakai ratusan petani melakukan pengropyokkan tikus bulan lalu. Namun cara skala itu belum mampu menanggulangi populasi hama tikus. Ratusan tikus yang berhasil ditangkap dikuliti. Sebelumnya juga sudah dilakukan peneduh di pura puseh dan sejumlah pura lainnya di desa pakraman Ababi. ‘’Kulit tikus itu dipakai sarana saat pengabenan.

Prosesi dan bebantenannya nyaris sama dengan me-ngaben-kan orang. Juga memakai pengiriman, dan anggaran yang kita susun biayanya mencapai Rp 75 juta. Ini apa sepenuhnya mampu ditanggung petani? Selama ini upacara itu lama tak mampu digelar karena terbatasnya kemampuan petani,’’ paparnya. Dikatakan masih ada satu ritual yang belum dilakukan yakni pengabenan jero ketut (tikus). Upacara itu zaman dulu rutin digelar tiap 10 tahun sesuai bhisama. Di mana, saat mrana (hama tikus) merajalela, apalagi kalau sudah muncul tikus berbulu merah, poleng atau putih. ‘’Ada beberapa orang sekitar enam bulan lalu melihat tikus besar berbulu putih. Sejumlah tikus lainnya yang berbulu coklat atau hitam, membawakan tikus putih itu padi ke tempatnya di pohon,’’ kata Semadiyasa.

Pengabenan tikus di desa setempat direncanakan pada sasih kapitu ini, sekitar pertengahan Desember sampai Januari. Pengabenan tikus di desa setempat terakhir tahun 1992, yakni sudah 17 tahun. ‘’Jadi dari segi logika, sudah 17 tahun tak digelar ngaben tikus, tentu kini populasinya sudah sangat ban
Om Swatiastu.

di jaman sekarang ini dengan pengaruh Maya yang begitu hebatnya, dengan segala Tatanan Kehidupan yang mulai hancur, dan dengan tekanan yang begitu besar dari para Penguasa. Bagaimana caranya kita menemukan cara lama yang ditempuh para rsi terdahulu untuk bisa kembali pulang dan menyatu dengan Brahman?. Belajar dari buku? apakah buku sekarang masih bisa kita percaya tanpa ditunggangi oleh kepentingan Bisnis dari para pengusaha untuk mendapatkan keuntungan yang melimpah tanpa memperhatikan isi dari buku itu. Bagaimana caranya menemukan guru yang sejati?. suksma.

Om santih santih santih Om
Mangku Suro (Indonesia) menulis pada 05 September 2009 jam 16:58
 
Untuk membakar benih-benih karma, jangan terjebak karma di masa lalu, baik karma yang menyenangkan maupun yang tidak menyenagkan, baik yang mengagumkan maupun yang memalukan. Karena itu hanya akan menimbulkan benih-benih karma yang baru. Seorang yogi meninggalkan jejak karmanya begitu saja tanpa pernah menoleh ke belakang, seperti air sungai mengalir yang senantiasa sibuk mengikuti liku-liku perjalanan, melewati berbagai rintangan, mencari celah untuk sampai di muara. Yang tahu kebiasaan para yogi, tidak akan pernah menanyakan masa lalu seseorang. Tapi, kita sering terjebak untuk melibatkan pikiran dan emosi kita, menggembar-gemborkan kelebihan dan kehebatan kita di masa lalu. Hal ini disebabkan karena kita bukan yogi. BELUM ! Masa lalu hanyalah cermin untuk mematut diri. Jangan pernah memaksa pikiran dan emosi kita untuk masuk ke dalam bayangan indah dan hebat yang ada di dalam kaca, karena kita akan terpental, atau bahkan memecahkan kaca dan terluka.

Senin, 21 September 2009

View Full Version : Hindu Dharma = SIWA BUDHA

goesdun
11-02-2008, 02:47 PM
Hindu Dharma = SIWA BUDHA

Ada tujuh Maha Rsi yaitu Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa yang menerima wahyu Weda di India sekitar 3000 tahun sebelum Masehi.

Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian Weda tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima dari guru mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekta-sekta yang jumlahnya ratusan.
Sekta-sekta yang terbanyak pengikutnya antara lain : Pasupata, Linggayat Bhagawata, Waisnawa, Indra, Saura, dan Siwa Sidhanta.

Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia.

Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain : Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu.

Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.

Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme.

Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa?

Karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas.

Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok / intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok).

Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain Wrhaspati Tattwa.
Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.

Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda.

Weda memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara.

Weda menjadikan pemikiran-pemikiran cemerlang bagi orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu:


1. DANGHYANG MARKANDEYA

Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah.

Setelah menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan.
Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.

Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten.

Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.

Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan.
Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll.

Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.


2. MPU SANGKULPUTIH

Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.

Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.

Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan.

Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.

Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll.

Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

3. MPU KUTURAN

Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali.
Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian.

Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya.
Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana 1989:56).

Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.

Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.


Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu.

Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur.

Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:


a. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.


b. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel


c. Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)


d. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)


Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan.

Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”.

Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu :
o Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang
o Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeru
o Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga

Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran.

Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.

Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha”
sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha.

Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama:
ØPura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)
ØPura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
ØPura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa

Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali.

Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “Desa Adat”.

Dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual.

Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi). Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.

Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih.

Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).


4. MPU MANIK ANGKERAN

Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra.

Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.


5. MPU JIWAYA

Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9).

Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.


6. DANGHYANG DWIJENDRA
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong.

Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa.

Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.

Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal.

Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik.
Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun.
Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.

Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll.

Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.

Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll.

Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.

Di bidang tattwa misalnya, ciri khas yang paling menonjol adalah penyembahan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Trimurti dan Tripurusa dalam bentuk palinggih Kemulan Rong Tiga dan Padmasana yang dikembangkan masing-masing oleh Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.

Di bidang ritual ciri khas Hindu-Bali yang terpenting adalah adanya bebali atau banten yang dikembangkan oleh Danghyang Markandeya dan Mpu Sangkulputih.

Sejarah kemudian membuktikan bahwa walaupun di Nusantara telah berkembang Agama lain seperti Islam dan Kristen, Bali tetap dapat bertahan pada Hindu karena agama Hindu telah membudaya mewujudkan jati diri orang-orang Bali yang mengagumkan dunia.
Zaman sudah globalisasi, dunia yang tanpa batas, pengaruh budaya luar terus menerus menghantam ketahanan orang-orang Hindu.

Bermula dari perubahan nama Agama di era Orde Baru, di mana Agama Hindu-Bali dirubah menjadi Agama Hindu Dharma. Ini merupakan tonggak bagi sebagian kecil penduduk dari suku-suku: Batak Karo, Dayak, Banten, Jawa, dll. mendapat pengakuan pada keyakinan spiritualnya di luar Agama yang sudah ada, menjadi tertampung dalam Hindu Dharma.

Dengan demikian Hindu Dharma akan mampu memberikan acuan yang lengkap mengenai Tattwa, Susila dan Upacara kepada saudara-saudara se-dharma di luar Bali, karena sudah ratusan generasi meninggalkan Hindu atau tidak bersentuhan dengan Hinduan seperti yang berkembang di Bali

Hindu Dharma harus mempertahankan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh ke enam tokoh suci yang disebutkan di atas.

Karena Bali saat ini banyak sekali aliran-aliran bermunculan dan saling bertentangan seperti abad ke 10 sebelum kedatangan Mpu Kuturan di Bali.

Dalam perkembangan globalisasi saat ini Hindu Dharma sudah melakukan reformasi kelembagaan yaitu:
Parisadha Hindu Dharma secara khusus sebagai lembaga umat yang menangani masalah-masalah agama sehingga Tattwa , Susila dan Upacara menjadi sesuatu yang utuh sebagai manifestasi hubungan vertical (hubungan religius)
Lembaga Adat (Majelis Desa Pekraman untuk di Bali) secara khusus menangani masalah-masalah Adat sebagai manifestasi hubungan Horisontal.(hubungan social)Hindu Dharma adalah Agama SIWA-BUDHA yang social religius.

Semoga atas wahyu Hyang Widhi pemikiran-pemikiran cemerlang datang dari segala arah.
\

JakaLoco
14-02-2008, 12:18 PM
Mari kita lestarikan ajaran2 dan warisan2 Leluhur kita...

goesdun
26-03-2008, 04:15 PM
Agama Hindu ditandai dengan sifat rasional yang sangat kuat. Melalui jalan berliku dari harapan samar dan renunsiasi praktis, dogma-dogma ketat dan petualangan jiwa yang tidak mengenal takut, melalui empat atau lima melinium upaya-upaya tanpa henti dalam bidang menthapisik dan teologi para Maharesi Hindu telah mencoba untuk menangkap masalah-masalah terakhir dalam suatu kesetiaan kepada kebenaran dan perasaan atas kenyataan.

Reg Weda memberitahu kita mengenai Tuhan, Satu Hakekat Kenyataan Terakhir, Ekam Sat, mengenai Dia para terpelajar menyebutnya dengan berbagai nama.
Upanisad-Upanisad juga mengatakan bahwa Tuhan yang satu itu disebut dengan berbagai nama sesuai dengan tingkat kenyataan dimana Dia dilihat berfungsi.

Konsepsi mengenai Tri Murti muncul dari periode epik, dan dimantapkan dalam zaman Purana-Purana.

Analogi dari kesadaran manusia, dengan tiga lapis kegiatan, yaitu mengetahui (cognition), merasa (emotion), dan kehendak (will), menyarankan pandangan mengenai Tuhan sebagai Sat, Cit dan Ananta Kenyataan (reality), kebijaksanaan (wisdom) dan kebahagian (joy).

Triguna yaitu :

Sattwa atau ketenangan, lahir dan kebijaksanaan,
Rajas atau energi lahir dari rasa yang penuh semangat, dan
Tamas, kelambanan, lahir sebagai akibatnya kurangnya kendali dan pencerahan, adalah merupakan unsur-unsur dari semua eksistensi.

Tiga fungsi dari utpeti (shristi) atau penciptaan stiti atau pemeliharaan dan pamralaya (pralina) atau penghancuran (peleburan) juga berasal dari Tri Guna ini.

Wisnu Sang Pemelihara alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat sattwa,
Brahman Sang Pencipta alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat rajas dan
Siwa Sang Pemrelina alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat tamas.

Tiga Sifat dari Tuhan Yang Tunggal dikembangkan menjadi tiga pribadi yang berbeda. Dan masing-masing pribadi itu dianggap berfungsi melalui sakti atau energinya masing-masing: Uma, Saraswati dan Laksmi.

Secara harfiah ketiga sifa-sifat dan fungsi-fungsi ini seimbang di dalam Tuhan Yang Tunggal sehingga Dia dikatakan tidak memiliki sifat-sifat sama sekali.

Satu Tuhan yang tidak dapat dipahami yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa dan ada di mana-mana, tempat berbeda bagi pikiran yang berbeda dalam cara yang berbeda.

Satu teks kuno mengatakan bahwa bentuk diberikan kepada yang tak berbentuk bagi kepentingan manusia.

Dengan keterbukaan pikiran yang merupakan sifat dan filsafat, orang Hindu percaya akan relativitas dari keyakinan mayarakat umum yang memeluk keyakinan itu.
Agama bukanlah sekedar teori mengenai yang supernatural yang dapat kita pakai atau kita tinggalkan semau kita.

Agama merupakan pernyataan dari pengalaman spiritual dari bangsa yang bersangkutan, catatan dari evolusi sosialnya, bagian tak terpisahkan dari suatu mayarakat di atas di mana ia didirikan.

Bahwa orang yang berbeda akan memeluk keyakinan yang berbeda, bukanlah sesuatu yang tidak alamiah.

Ini adalah semua masalah cita rasa dan temperamen. Ruchinan vaichitriyat.

Ketika bangsa Arya bertemu dengan penduduk asli yang menyembah berbagai macam dewa-dewa, meraka merasa tidak terpanggil untuk menggantikannya seketika itu dengan keyakinan mereka.

Pada akhirnya semua manusia mencari Tuhan yang satu. Menurut Bagawad Gita Tuhan tidak akan menolak keinginan pemuja-Nya semata-mata karena mereka tidak merasakan kekacauan dan kebingungan.

Guru-guru besar dunia yang memiliki cukup penghormatan terhadap sejarah tidak akan mencoba menyelamatkan dunia dalam generasi mereka dengan memaksakan pertimbangan-pertimbangan mereka yang maju terhadap mareka yang tidak mengerti atau menghargainya.

Para Maharesi Hindu, sementara mempraktekan ideal yang tinggi, memahami ketidak siapan rakyat untuk itu, dan karena itu melakukan pelayanan dengan lemah lembut dari pada pemaksaan yang liar.

Mereka mengakui dewa-dewa yang lebih rendah dan di puja oleh orang banyak dan memberitahu mereka bahwa dewa-dewa itu semua berkedudukan lebih rendah dari Brahman atau Tuhan Yang Tunggal: sementara beberapa menemukan dewa-dewa di air, yang lain di surga, yang lain dalam benda-benda dunia, orang bijaksana menemukan Tuhan yang benar, yang keagunganNya hadir di mana-mana, di dalam Atman.

Sloka yang lain mengatakan: "Manusia tindakan (man of action) menemukan Tuhan dalam api, manusia perasaan (men of feeling) menemukan Tuhan dalam hati, manusia yang masih rendah kemampuan berpikirnya menemukan Tuhan dalam patung, tapi manusia yang kuat secara spiritual menemukan Tuhan di mana-mana."

Sistem agama dan falsafah Hindu mengakui evolusi dan involusi dunia secara periodik yang mempresentasikan detak jantung universal, yang selalu diam dan selalu aktif.

Seluruh dunia merupakan pengejawantahan dari Tuhan. Sayana mengamati bahwa segala sesuatu adalah wahana atau kendaraan dari manifestasi Jiwa Yang Tertinggi (Tuhan).

Mahluk dibedakan dalam beberapa tingkatan. "Di antara mahluk, yang bernafas yang tertinggi; di antara ini, mereka yang telah mengembangkan pikirannya; di antara ini, mereka yang telah mempergunakan pengetahuannya; sementara yang tertinggi adalah mereka yang dikuasai oleh perasaan mengenai kesatuan dari semua kehidupan dalam Tuhan. Jiwa yang satu mengungkapkan dirinya melalui tingkatan yang berbeda."

Yang tak terbatas dalam diri manusia tidak dapat dipuaskan oleh bentuk dunia terbatas yang fana.

Kebebasan adalah harta milik kita, bila kita lari dari apa yang sementara dan terbatas dalam diri kita. Makin banyak hidup kita memanifestasikan yang tak terbatas dalam diri kita, makin tinggi kita berada dalam tingkatan hidup.

Manifestasi yang paling tinggi disebut Awatara atau inkarnasi dari Tuhan. Ini bukanlah suatu yang tidak biasa, satu mukjijat Tuhan, tetapi hanya manifestasi yang lebih tinggi dari prinsip tertinggi, berbeda dari yang umum yang lebih rendah dalam derajat saja.

Bagawad Gita mengatakan bahwa sekalipun Tuhan ada dan bergerak dalam segalanya, Dia memanifestasikan dirinya dalam derajat khusus dalam hal-hal yang indah.

Para Maharesi dan para Buddha, para Nabi dan Mesiah, merupakan pengungkapan terdalam dari jiwa universal.

Bagawad Gita menjanjikan bahwa mereka akan muncul bilamana mereka diperlukan. Bila kecenderungan meteralis yang merendahkan atau mendominasi kehidupan, seorang Rama atau Krishna atau seorang Buddha akan datang kedunia untuk memperbaiki harmoni kebenaran.

Dalam manusia yang telah memutuskan kekuasaan indria, membuka hati yang penuh kasih, dan memberikan kita inpirasi akan kasih, kebenaran dan keadilan, kita memiliki konsentrasi yang kuat mengenai Tuhan. Mereka mengungkapkan kepada kita jalan, kebenaran dan hidup. Mereka tentu saja melarang penyembahan buta terhadap diri mereka, karena ini akan menurunkan pengejawantahan dari Jiwa yang Agung.

Rama mengungkapkan dirinya tidak lebih dari anak seorang manusia.
Seorang Hindu yang mengetahui sesuatu mengenai keyakinannya siap untuk memberikan rasa hormat kepada setiap penolong kemanusiaan.
Dan percaya bahwa Tuhan berinkarnasi dalam seorang manusia (Awatara).
Manifestasi suci bukanlah pelanggaran terhadap kepribadian manusia sebaliknya, ia merupakan drajat kemungkinan tertinggi dari pengejawantahan-diri manusia yang alamiah sebab hakikat sebenarnya dari manusia adalah suci.

Tujuan dari hidup adalah pengungkapan secara perlahan dari yang abadi dalam diri kita, dari eksistensi kemanusiaan kita. Kemajuan umum diatur oleh karma atau hukum sebab akibat moral.

Agama Hindu tidak percaya akan satu Tuhan yang dari kursi-pengadilannya menimbang tiap kasus secara terpisah dan menetapkan balasannya.

Dia tidak melalukan keadilan dari luar, menambah atau mengurangi hukuman berdasarkan kehendakNya sediri.
Tuhan ada "dalam" manusia, dan demikian juga karma hukum adalah merupakan bagian organik dari kakekat manusia.
Setiap saat ada pada pengadilannya sendiri, dalam setiap usaha yang jujur akan memberikan dia kebaikan dalam upaya internalnya.
Karakter yang kita bangun akan berlanjut ke masa depan sampai kita menyadari kesatuan kita dengan Tuhan.
Anak-anak Tuhan, yang dalam pandangannya satu tahun adalah seperti satu hari, tidaklah merasa perlu kecil hati bila tujuan kesempurnaan itu tidak tercapai dalam suatu kehidupan.

Kelahiran kembali diterima oleh semua penganut Hindu.

Dunia ini dipelihara oleh kesalahan-kesalahan kita.
Kekuatan-kekuatan yang menyatukan ciptaan adalah hidup kita yang terpatah-patah yang perlu diperbaharui.
Alam semesta telah muncul dan lenyap berulang-kali tak terhitung di masa lampau yang panjang, dan akan terus berlanjut dilebur dan dibentuk kembali melalui keadilan yang tak dapat dibayangkan di masa yang akan datang.

Etimologi
Dalam Bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata Sindhu (Bahasa Sansekerta). Dalam Rig Veda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anakbenua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu.

Keyakinan dalam Hindu
Agama Hindu adalah agama yang monoteisme, yaitu Tuhan tunggal tidak ada duanya, disebut Brahman atau Shang Hyang Widhi Wasa, juga dapat disebut sebagai Dewata Nawa Sangga.
Brahman hanya ada satu, tidak ada duanya, namun orang-orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama sesuai dengan sifatnya yang maha kuasa.
Dalam keesaannya dan tidak berwujud dipanggil OMKARA.

OMKARA adalah sebutan Tuhan pertama sama dengan ALLAH, sebagai manifestasi Tuhan dalam ke Esaannya dan tidak berwujud.
Kemudian dalam penulisan menggunakan aksara suci Omkara yaitu dibaca OM.

Dalam prakteknya umat Hindu sebagai masyarakat social religius, menjalankannya dengan konsep Monoteisme dan Panteisme.

Menurut Prof Sarvelli Radhakrishnan, filsuf dan mantan presiden India, monotheisme hanya cocok bagi jiwa yang masih kanak-kanak.

Weda tidak mengajarkan apartheid agama, pemisahan orang beriman dengan orang kafir, apalagi memerintahkan pengikutnya membunuh atau menaklukan orang kafir dan membayar pajak perlindungan kecuali si kafir masuknya.

Einstein, yang juga Yahudi, hanya menerima paham ketuhanan Spinoza.
Spinoza dianggap sebagai salah seorang filsuf Barat modern yang terbesar.
Filsafatnya tentang Tuhan hampir mirip dengan dengan pandangan Hindu, yang disebut Pantheisme (pan = segalanya; theis = Tuhan).

Ia memahami Tuhan mengejawantah di dalam hukum-hukum alam, yang di dalam Hindu disebut Rta yang mengatur alam dan karma yang mengatur perbuatan manusia.
Mengenai ini ada ungkapan Einstein yang terkenal “Tuhan tidak main dadu” Artinya Tuhan tidak sewenang-wenang, semaunya sendiri, apalagi bila Tuhan sedetik ini tidak tahu apa yang dimauinya.

Apakah Einstein menganggap semua agama sama?
Ya, dalam arti negative; Karena Einstein tidak beragama, semua agama, tentunya agama yang ada di lingkungannya, yaitu agama-agama semitik, yang menyebut dirinya agama langit, tidak berguna.
Mengenai Tuhan, figur sentral atau protagonist di dalam kitab suci semua agama-agama theistic, Einstein memilih Pantheisme dan menolak Monotheisme.

Arthur Schoupenhauer (filsuf Jerman), David Hume (filsuf Inggris), Arnold J. Toynbee (sejarahawan Inggris) untuk menyebut beberapa nama, menolak monotheisme, karena Tuhan monotheisme mengajarkan keberanian dan kekerasan.
Tuhan monotheisme ini, kata mereka telah mengalirkan darah manusia jauh melebihi perang karena alasan lainnya. Masing-masing Tuhan monotheisme ini, mengajarkan kebencian, kekerasan bahkan memerintahkan perang kepada bangsa, atau masyarakat lain.

Monoteisme
Dalam agama Hindu umumnya (termasuk Agama Hindu Dharma di Indonesia), konsep yang dipakai adalah monoteisme. Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Advaita Vedanta yang berarti “tak ada duanya” (a + dvaita) dipanggil OMKARA. Selayaknya konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Advaita Vedānta menganggap bahwa Tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan Brahman.

Panteisme
Dalam salah satu Kitab Hindu yakni Upanishad, konsep yang ditekankan adalah Panteisme.
Konsep tersebut menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tertentu maupun tempat tinggal tertentu, melainkan Tuhan berada dan menyatu pada setiap ciptaannya, dan terdapat dalam setiap benda apapun, ibarat garam pada air laut.
Dalam agama Hindu, konsep panteisme disebut dengan istilah “Wyapi Wyapaka”. Kitab Upanishad dari Agama Hindu mengatakan bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu, beliau tidak berada di surga ataupun di dunia tertinggi namun berada pada setiap ciptaannya.

Tiga Kerangka Suci Umat Hindu yaitu :
1. Filsafat/Tattwa (Inti)
2, Ethika/Susila (Unit)
3. Rituil/Upacara/Persembahan (Reaksi)

Ketita bagian tersebut di atas menurut Agama Hindu dapat dikembangkan sebagai berikut:
1. Filsafat/Tattwa (Inti) dijabarkan melalui :
Panca Sarada
• Brahman = Percaya dengan adanya Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan
• Atma = Percaya dengan adanya Roh
• Karman = Percaya adanya Hukum Karma Phala
• Samsara=Percaya bahwa manusia lahir berulang-ulang
• Moksa=Percaya dengan adanya kebebasan abadi

2. Ethika/Susila (Unit) sesuai dengan ajaran Trikaya Parisudha.
Trikaya Parisudha:
• Manacika = Pikiran Suci
• Wakcika = Kata-kata benar
• Kayika=Perbuatan yang baik dan terpuji

3. Rituil/Upacara/Persembahan (Reaksi) dilaksanakan melalui korban suci Panca Yadnya dan Panca Maha Yadnya.

Panca Yadnya:
• Dewa Yadnya = Persembahan kepada Tuhan.
• Pitra Yadnya = Persembahan kepada para Leluhur
• Rsi Yadnya= Persembahan kepada pra Rsi dengan mengalkan ilmu pengetahuan yang diberikannya.
• Manusa Yadnya = Persembahan dilakukan kepada Roh manusia semenjak embrio sampai kematiannya.
• Bhuta Yadnya = Korban sui terhadap makhluk diluar rendahan

Panca Maha Yadnya:
1. Drewiya Yadnya = Korban suci yang dilakukan dengan menggunakan banten sajen, harta benda dan material iannya.
2. Tapa Yadnya = Korban suci dengan jalan tapa, yaitu dengan jalan tahan menderita, meneguhkan iman, menghadapi segala godaan hidup.
3. Swadyaya Yadnya = Korban suci dan kebajikan yang diamalkan dengan menggunakan diri pribadi sebagai alat atau dana pengorbanan.
4. Yoga Yadnya = Korban suci melalui pemujaan kepada Ida Sang Hayang Widhi, dengan jalan Yoga, yaitu mengatukan pikiran guna dapat menunggal Atman dengan Paramatman.
5. Jnana Yadnya = Korban suci berupa persembahan dan pemujaan untuk Ida Sang Hyang Widhi dengan mengamalkan Weda / Ilmu Pengetahuan suci (Jnana).

Konsep ketuhanan
Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman merupakan sesuatu yang tidak berawal namun juga tidak berakhir. Brahman merupakan pencipta sekaligus pelebur alam semesta. Brahman berada di mana-mana dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal mula dari segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam semesta tunduk kepada Brahman tanpa kecuali.

Dalam konsep tersebut, posisi para Dewa disetarakan dengan malaikat dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri, melainkan dipuji atas jasa-jasanya sebagai perantara Tuhan kepada umatnya.

Filsafat Advaita Vedānta menganggap tidak ada yang setara dengan Brahman, Sang pencipta alam semesta. Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman hanya ada satu, tidak ada duanya, namun orang-orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama sesuai dengan sifatnya yang maha kuasa. Nama-nama kebesaran Tuhan kemudian diwujudkan ke dalam beragam bentuk Dewa-Dewi, seperti misalnya: Wisnu, Brahmā, Çiwa, Lakshmi, Parwati, Saraswati, dan lain-lain. Dalam Agama Hindu Dharma (khususnya di Bali), konsep Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu bentuk monoteisme asli orang Bali.


FILSAFAT HINDU
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha. Panca Sradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
1. Widhi Tattwa – percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
2. Atma Tattwa – percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
3. Karmaphala – percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan.
4. Punarbhawa – percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
5. Moksha – percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia

Widhi Tattwa
Widhi Tattwa merupakan konsep kepercayaan terdapat Tuhan yang Maha Esa dalam pandangan Hinduisme. Agama Hindu yang berlandaskan Dharma menekankan ajarannya kepada umatnya agar meyakini dan mengakui keberadaan Tuhan yang Maha Esa. Dalam filsafat Advaita Vedānta dan dalam kitab Veda, Tuhan diyakini hanya satu namun orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama. Dalam agama Hindu, Tuhan disebut Brahman. Filsafat tersebut juga enggan untuk mengakui bahwa Dewa-Dewi merupakan Tuhan tersendiri atau makhluk yang menyaingi derajat Tuhan.

Ātmā Tattwa
Atma tattwa merupakan kepercayaan bahwa terdapat jiwa dalam setiap makhluk hidup. Dalam ajaran Hinduisme, jiwa yang terdapat dalam makhluk hidup merupakan percikan yang berasal dari Tuhan dan disebut “Jiwatma”. Jiwatma bersifat abadi, namun karena terpengaruh oleh badan manusia yang bersifat “Maya”, maka Jiwatma tidak mengetahui asalnya yang sesungguhnya. Keadaan itu disebut “Awidya”. Hal tersebut mengakibatkan Jiwatma mengalami proses reinkarnasi berulang-ulang. Namun proses reinkarnasi tersebut dapat diakhiri apabila Jiwatma mencapai moksha.

Karmaphala
Agama Hindu mengenal “hukum sebab-akibat” yang disebut Karmaphala (karma=perbuatan; phala=buah/hasil) yang menjadi salah satu keyakinan dasar. Dalam ajaran Karmaphala, setiap perbuatan manusia pasti membuahkan hasil (baik atau buruk). Ajaran Karmaphala sangat erat kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi, karena dalam ajaran Karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun duka) disebabkan karena hasil perbuatan manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia menjalani hidup maupun apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan nasib baik/buruk yang akan ia jalani sementara Tuhan yang menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun setelah reinkarnasi).

Punarbhawa
Punarbhawa merupakan keyakinan bahwa manusia mengalami reinkarnasi. Dalam ajaran Punarbhawa, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Apabila manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya (baik atau buruk) yang belum sempat dinikmati. Proses reinkarnasi diakhiri apabila seseorang mencapai kesadaran tertinggi (moksha).

Moksha
Dalam keyakinan umat Hindu, Moksha merupakan suatu keadaan di mana jiwa merasa sangat tenang dan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya karena tidak terikat lagi oleh berbagai macam nafsu maupun benda material. Pada saat mencapai keadaan Moksha, jiwa terlepas dari siklus reinkarnasi sehingga jiwa tidak bisa lagi menikmati suka-duka di dunia. Oleh karena iu, Moksha menjadi tujuan akhir yang ingin dicapai oleh umat Hindu.

Empat macam Moksha / kebebasan:
1. Samipya Moksa = Kebebasan yagn dicapai semasih hidup oleh para Resi sehingga mampu menerima wahyu dari Tuhan.
2. Sarupya/Sadarmmya = Kebebasan yang diperoleh semasih hidup seperti Awatara Sri Kresna, Budha Gautama.
3. Salokya / karma Mukti = Kebebasan yang dicapai oleh Atman itu sendiri telah berada dalam posisi sama dengan Tuhan tetapi belum dapat bersatu dengan Tuhan.
4. Sayujya / Purna Mukti = Kebebasan yang tertinggi dan sempurna sehingga dapat menyatu dengan Tuhan.

Vivekananda mengatakan agama universal harus memenuhi kecendrungan semua jenis manusia : manusia yang aktif, pekerja; manusia yang emosional, pencinta keindahan dan kelembutan; manusia yang menganilisis dirinya sendiri, penekun mistik; manusia yang mempertimbangkan semua hal dan menggunakan inteleknya, pemikir, sang filsuf.

Untuk memenuhi kecendrungan semua jenis manusia ini, Hindu menyediakan empat jalan, yaitu:
(1) Karma Yoga bagi yang aktif;
(2) Bhakti Yoga bagi sang pencinta;
(3) Raja Yoga bagi sang mistikus ;
(4) Jnana Yoga bagi sang filsuf.

Sebagai konsekuensinya, perbedaan jalan yang ditempuh memunculkan cara ibadah – yang lebih tepat – sadhana atau praktek spiritual yang berbeda.

Dan ini sangat dipahami oleh pemeluk Hindu, seperti halnya memahami konsep Tapa Catur Warna :
- Mengejar pengetahuan suci adalah Tapa bagi para Brahmana
- Melindungi rakyat adalah Tapa dari kaum Ksatrya
- Melaksanakan kewajiban berusaha adalah Tapa bagi Wesya
- Mengabdi adalah Tapanya kaum Sudra

Termasuk konsekuensi munculnya sebutan untuk pemimpin:

GURU :
Guru secara literal berarti ‘dari satu kepada yang lain’
Satu garis guru spiritual dalam inisiasi dan suksesi yang otentik; rantai kekuatan mistik dan penerusan yang sah; dari satu guru kepada guru yang lain.
Sebuah aliran yang hidup dari tradisi atau theologi dalam agama Hindu, diteruskan secara latihan lisan dan upanayana (inisiasi).

RSI, Pendeta atau Sulinggih = Dwijati
Dwijati Lahir dua kali, yaitu:
1. Lahir dari rahim ibu;
2. Lahir dari kegelapan (awidya) setelah Didiksa.
Dwijati artinya telah terlahir untuk kedua kalinya, yakni: pertama terlahir dari rahim ibunya dan berikutnya terlahir dalam dunia ilmu pengetahuan, dikuti dengan segala upacara yang terkait sejak ia dalam kandungan (sangaskara), sesuai dengan yang tersurat dalam Weda-weda.
Hanya para Dwijati yang "diwajibkan" untuk mempelajari Weda-weda.

LORD / AWATARA Hyang Widhi turun untuk menegakkan ajaran Dharma
Hyang Widhi turun ke dunia dengan mengambil salah satu bentuk sesuai dengan keadaan alam, dengan perbuatan dan ajaran sucinya memberikan tuntunan untuk membebaskan umat manusia dari kesengsaraan yang diakibatkan oleh kegelapan (Awidya), dalam hal ini disebut dengan Awatara.

Dalam Bhagawad Gita disebutkan “Bilamana Dharma (kebenaran) didunia ini hilang (runtuh) dan Adharma (kejahatan, keangkaramurkaan) mulai menguasai dunia, pada waktu itu Aku akan menjelmakan diriKu”.

“Untuk memberikan perlindungan kepada yang baik (Dharma) dan membasmi yang jahat (Adharma) dan membangkitkan perasaan keadilan, kebenaran dan kebaikan. Aku menjelma dalam tiap-tiap jaman”.

Dalam kitab Purana disebutkan ada 10 (sepuluh) Awatara Wisnu (sifat Hyang Widhi sebagai pemelihara alam) yaitu:

a. Matsya Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai Ikan yang besar yang menyelamatkan manusia pertama dari tenggelam saat dunia dilanda banjir yang maha besar.

b. Kurma Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai kura-kura besar yang menumpu dunia agar selamat dari bahaya terbenam saat pemutaran Gunung Mandara di Lautan Susu (Kesire Arnawa) oleh para Dewa untuk mencari Tirta Amertha (Air suci kehidupan)

c. Waraha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Badak Agung yang mengait dunia kembali agar selamat dari bahaya tenggelam

d. Nara Simbha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai manusia berkepala singa (Simbha/Sima) yang membasmi kekejaman Raja Hyrania Kasipu yang sangat lalim dan menindas Adharma

e. Wamana Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai orang kerdil berpengetahuan tinggi dan mulia dalam mengalahkan Maha Raja Bali yang sombong dan ingin menguasai dunia serta menginjak-injak Dharma.

f. Paracu Rama Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai Rama Parasu yaitu Rama bersenjatakan Kapak yang membasmi para ksatrya yang menyeleweng dari ajaran Dharma.

g. Rama Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Sang Rama putra raja Dasa Rata dari Ayodya untuk menghanncurkan kejahatan dan kelaliman yang ditimbulkan oleh Raksasa Rahwana dari negara Alengka.

h. Krisna Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Sri Krisna raja Dwarawati untuk membasmi raja Kangsa, Jarasanda dan membantu Pandawa untuk menegakkan keadilan dengan membasmi Kurawa yang menginjak-injak Dharma.

i. Budha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai putra raja Sododana di Kapilawastu India dengan nama Sidharta Gautama yang berarti telah mencapai kesadaran yang sempurna. Budha Gautama menyebarkan ajaran Budha dengan tujuan untuk menuntun umat manusia mencapai kesadaran, penerangan yang sempurna atau Nirwana.

j. Kalki Awatara yaitu penjelmaan Hyang Widhi yang terakhir yang akan turun untuk membasmi penghinaan-penghinaan, pertentangan-pertentangan agama akibat penyelewengan umat manusia dari ajaran Hyang Widhi (Dharma). Menurut keyakinan umat Hindu, awatara terakhir akan turun apabila memuncaknya pertentangan-pertentangan agama di dunia ini.

goesdun
17-04-2008, 03:08 PM
Agama Siwa-Buddha
Pada Jaman Majapahit, agama Siwa dan Buddha berpadu menjadi satu.
Hal-hal persatuan ini bisa dilihat dalam beberapa karya sastra: Kakawin Sutasoma dan Kakawin Arjuna Wijaya.

Warisan Terakhir Agama Siwa-Buddha
Pada jaman sekarang, di pulau Bali dan Lombok, agama Siwa dan Buddha dianggap dua mazhab berbeda dari satu agama yang sama.
Di Bali ada sebuah desa yang bernama Budakeling di Karangasem, di sini seluruh penduduknya menganut mazhab ini. Ajaran Siwa-Buddha di desa ini diwarisi oleh Dang Hyang Astapaka dari Keling (Kalingga), yang kemudian dilanjutkan oleh Mpu Tantular. Jejak-jejak warisan kedua pendeta ini masih bisa ditelusuri di Geria Budakeling.

Desa Bdudakeling Merupakan pusat peradaban Bali
Desa Budakeling memiliki budaya dan tradisi keagamaan.
Budakeling menyimpan warisan yang amat besar dari Dang Hyang Astapaka dan Mpu Tantular.
Budakeling merupakan salah satu desa di Bali mempunyai sejarah panjang di dalam membangun supremasi desanya. Generasi di Desa Budakeling kini mewarisi tradisi besar yang tak pernah ditemukan di tempat lain.

Tradisi Agama Siwa-Budha hanya ditemukan di Indonesia yang hingga sekarang hidup terpelihara dengan baik di Bali.

Dang Hyang Astapaka pada zamannya datang ke Budakeling dan meletakkan dasar kadyatmikan, pada masa berikutnya dilanjutkan Mpu Tantular.

Budakeling, jika ditelusuri lebih dalam, menunjukkan tanda-tanda kebesaran Indonesia pada masa silam.

Pola sintetik supra abad IX zaman Borobudur, Majapahit akhir dan masa pemerintahan Dalem Waturenggong pusat kerajaan di Bali abad XV.
Api homa kerajaan mengantarkan Dang Hyang Astapaka, pendeta brahmana Buddha dari Keling, menemukan berkas sinar aneh teja gni asta bajra pretiwi mandala yang kemudian diberi nama Budakeling.

Dari kacamata peneliti asing Walfgang Wech, Stuttgart, Hooykaas, serta Fork menyampaikan kesan bahwa desa itu merupakan pusat peradaban Bali, jantung peradaban aksara.

goesdun
23-05-2008, 01:09 PM
Ajaran Ciwa yang datang ke Indonesia diperkirakan datang dari Bengal, sama seperti Budha tantra.

Ini berdasarkan prasasti berbentuk logam-logam tipis Bhagapur dari raja Narayanapala berangka tahun 854-908 setelah masehi. Ciwait di Bengal yang berkembang saat itu sampai sekarang termasuk dalam mazab Pasupata yang didirikan oleh Srikanthanatha, penulis Pingalamata dan Lakulisa, nama ini diperkirakan muridnya.

Dalam prasasti di Jawa nama-nama murid Srikanthanata ini dalam formula sumpah prasasti-prasati Jawa diberi kode nama Patanjali. Karena itu sejak Pancakusika, para murid Srikanthanatha membuat catatan pada lempengan tembaga kanca, 860 setelah masehi, inilah yang kemudian memasuki Jawa, disebutkan sebagai sektarian Ciwaisme India pertama yang memasuki Nusantara, namun Kerena punya pendapat bahwa pejalan-pejalan China telah menemukan kaum brahmana tersebut dalam abad ke-5. Sedang Budhis memiliki riwayatnya memasuki Nusantara melalui Sumatra, bahkan pada abad ke-7 telah mengembangkan seperangkat kesusastraan dan model sadhana.

Kemudian pada abad 8 dan 9 Masehi telah berkembang Tantrisme Ciwa dan Budha walaupun saat itu simbol-simbol yang diangkat masih berbeda-beda.
Namun elemen-elemen mistik Tantrisme Budhaa, seperti Wajrayana, Sahajayana dan kalacakrayana berdasarkan filosofisnya diberikan oleh Yogacara dan sistem filsafatnya madyamika, inilah yang berproses secara generik dengan sebutan Mantrayana.

Dengan mode sadhana yang rumit, baik Ciwa dan Budha memberikan tanda peninggalannya, yakni jika filosofi Wajradhara nampak pada Borobodur, maka Pasupata nampak pada Candi Ptambanan.

Dari sini mulai populer sebutan Ciwa Siddhanta, yang dapat dilacak setidaknya ke pertengah abad sembilan.
Namun jika kesusatraan Tantra Ciwa Jawa yang ada sekarang digunakan sebagai panduan, paham Siddhanta adalah bermuara pada Jawatimur.

Ide-ide Ciwa-Budha ini dapat juga disusuri ke wilayah Bengal, namun baru setibanya di Jawa dan Bali dapat menjadi realitas.

Spirit toleransi ini secara meluas dicerminkan dalam kesusatraan dan prasasti-prasati Jawa Kuno.

Siwa-Budha ini memiliki kelengkapan dan bukti tindakan spiritual dan nyata menguatkan kemanusiaan manusia.

goesdun
08-07-2008, 03:25 PM
Untuk mempertemukan Agama Siwa dan Agama Buddha Krtanagara membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat kota Malang.

Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan dimana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.

Kenyataan Tertinggi agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku Kata suci OM.
Yang mempunyai 3 hakekat (tattwa) yaitu:


Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala)
Sadasiwa-tattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (sanakala-niskala)
Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala)

goesdun
06-08-2008, 04:37 PM
ISTILAH keluarga berasal dari kata "kula" dan "warga".
Kula dalam bahasa Sansekerta artinya mengabdi dan warga artinya terjalin. Kulawarga adalah ikatan pengabdian yang terjalin harmonis. Menurut Pandhari Nath Prabhu dalam bukunya "Social Hindu Organization" ada tiga sistem yang membentuk keluarga Hindu yaitu: Sapinda, Gotra dan Pravara.

Sapinda adalah bentuk keluarga yang didasarkan pada kesamaan darah keturunan yang jelas. Artinya hubungan keluarga seseorang dalam sistem Sapinda harus dapat dilacak dengan jelas dan pasti hubungan darah keturunannya. Bentuk hubungan tersebut harus jelas dan pasti, apakah seseorang itu sebagai anak, sepupu, mindon, cucu, kumpi, kelab atau lainnya. Dengan sistem ini sangat terbatas dapat diketahui hubungan darah keturunan secara jelas dan pasti dalam hubungan yang lebih luas. Pelacakannya paling-paling sampai batas lapis ketiga atau keempat. Jarang orang mampu melacak secara pasti sampai ke jenjang yang lebih tinggi dari hubungan tersebut. Misalnya seseorang paling banter dapat melacak sampai tingkat ayah-ibu, kakek-nenek dan kumpi dengan pasti. Melacak yang lebih atas dari itu sangat sulit. Misalnya, sangat sulit melacak sampai kelab, kelampiung, canggah, wareng sampai dengan keletek.

Gotra adalah bentuk keluarga berdasarkan hubungan ketokohan seseorang. Dari tokoh inilah seterusnya membentuk suatu warga. Terbentuknya Gotra ini berlangsung secara alami tahap demi tahap. Mereka yang merasa memiliki hubungan kekerabatan, baik karena merasa ikut diperjuangkan nasibnya oleh tokoh bersangkutan atau memang karena ada hubungan darah meskipun sebatas hubungan pradhana atau purusa yang sudah sangat jauh, karena ketokohan itu mereka merasa dekat dan satu warga. Sistem Gotra ini sangat menonjol di Bali. Seperti Wangsa Brahmana Siwa, Wangsa Brahmana Budha, Warga Pasek Sanak Sapta Resi, Warga Bujangga Waisnawa, Warga Maha Semaya Pande, warga para Arya seperti Arya Kuta Waringin, Arya Sentong, Arya Kepakisan dan lain-lain.

Semua paguyuban warga tersebut dapat dilacak dengan jelas tokoh pembentuk kewargaannya. Tokoh pembentuk warga itu disebut Wamsa Karta. Misalnya Wangsa Brahmana Siwa meyakini Mpu Danghyang Dwijendra sebagai pembentuk wangsa (warga). Mpu Danghyang Astapaka (Mpu Katrangan) sebagai pembentuk Wangsa Brahmana Budha. Warga Pasek Sanak Sapta Resi meyakini Mpu Gnijaya sebagai pembentuk Warga Pasek. Demikian seterusnya.

Sesungguhnya dilihat dari hubungan Sapinda sebagai Gotra yang berbeda itu ada yeng memiliki hubungan satu Sapinda. Misalnya Wangsa Brahmana Siwa tidak memiliki hubungan keluarga berdasarkan Gotra dengan Warga Pasek Sanak Sapta Resi. Tetapi kalau dilihat dari silsilahnya Wangsa Brahmana Siwa memiliki hubungan Sapinda dengan Warga Pasek Sanak Sapta Resi. Karena leluhur Mpu Danghyang Dwijendra sebagai pembentuk Wangsa Brahmana Siwa adalah keturunan Mpu Beradah. Sedangkan Mpu Beradah bersaudara dengan Mpu Gni Jaya leluhur Warga Pasek Sanak Sapta Resi.

Dilihat dari sudut Sapinda Wangsa Brahmana Siwa satu keluarga dengan Warga Pasek Sanak Sapta Resi. Demikian juga beberapa warga lainnya ada yang berbeda Gotra tetapi satu Sapinda.

Umumnya kelompok warga atau soroh di Bali banyak yang berasal dari Sang Panca Tirtha. Yang dimaksud dengan Sang Panca Tirtha itu adalah lima pandita bersaudara yang pernah bereksistensi meletakkan nilai-nilai Hindu di Bali. Kelima pandita itu adalah Mpu Gnijaya, Mpu Kuturan, Mpu Beradah, Mpu Gana, Mpu Semeru. Terbentuknya keluarga Hindu berdasarkan Gotra ini karena adanya dorongan untuk melestarikan nilai-nilai luhur yang dilakukan oleh seorang tokoh sehingga ia sampai menonjol sebagai tokoh dalam masyarakat Hindu.

Pravara adalah bentuk keluarga Hindu yang didasarkan pada kesamaan nama Tuhan yang dipuja. Kata pravara dalam bahasa Sansekerta artinya yang paling diutamakan. Dalam pergaulan sehari-hari sering kita mendengar istilah Warga Waisnawa Paksa, Warga Siwa Paksa, Budha Paksa atau para Sakta dan sebagainya.

Hal itu menggambarkan bentuk keluarga berdasarkan sistem Pravara.
Dalam kitab Reg Veda sudah sangat jelas dinyatakan bahwa Tuhan itu Esa namun sebutannya banyak, yang diberikan oleh para Vipra atau orang suci. Bentuk keluarga berdasarkan kesamaan nama Tuhan yang dipuja inilah oleh para ilmuwan empiris disebut Sekte. Sedangkan dalam istilah Hindunya disebut Sampradaya Parampara.

Dalam Lontar sering kita baca ada resi yang bersaudara secara Sapinda namun berbeda Paksanya sehingga tidak disebut sebagai satu keluarga dalam pengertian Pravara. Zaman dulu berbeda Pravara tidak pernah dipersoalkan. Karena itu di Bali tidak ada sejarah yang menyatakan bahwa ada permusuhan antarsekte Hindu. Yang ada justru kerja sama dengan tidak mempertentangkan perbedaan asal sistem keluarga.

roughtorer
06-08-2008, 04:50 PM
Yang saya cari ada di sini.... nice post....
lanjutin yah....

JakaLoco
26-09-2008, 04:26 PM
P.J. Zoetmulder (1983:415) meringkas ikhtisar Sutasoma sebagai berikut. Manggala untuk memuji Srì Bajrajñàna, yang hakekat kodratnya berupa kehampaan (Sùnyatà) dan yang bersemayam di hati bula beliau tampil dari meditasi Bodhicitta. Setelah pada jaman-jaman dulu Brahmà, Visnu, dan Ìsvara melindungi Dharma, kini pada jaman kali Srì Jìnapati turun untuk memusnahkan kekuatan jahat (1.1- 4).


Ajaran teologi yang diamanatkan dalam kakawin ini tampak dalam episode Sutasoma menjelaskan ajaran tentang Yoga sebagai berikut: “Ketika murid-muridnya bertanya lebih lanjut, Sutasoma menjawab jenis yoga yang dilakukan oleh aliran Siva dan yang terdiri atas enam tahap. Namun praktek itu ada bahaya bahwa seseorang mungkin terjerat dalam kedelapan sifat kesaktian yang diperoleh lewat yoga itu, sama seperti seseorang terbelenggu oleh panca indra dalam tahap sebelumnya. Jika bahaya itu dapat dihindari, maka ini merupakan salah satu jalan yang menuju ketujuan yang tertinggi ialah kekosongan (sùnyarùpa). Jalan yang lebih pendek lagi aman ialah advàyayoga (yoga yang tidak dualistis) seperti yang dilakukan oleh para pengikut Buddhisme Mahàyana. Yang menjadi tujuan mereka ialah Buddha tertinggi (paramàrtha Buddha) dan berakar pada advàya (keadaan yang tak dualistis) dan Prajnaparamita (pengetahuan yang tak berganda). Orang harus tahu kedua jalan itu. Baik seorang pertapa yang mengikuti Buddha maupun seorang pertapa yang menyembah Siva dapat dipersalahkan, bila ia tidak maklum akan cara pihak lain memahami Yang mutlak, yakni sebagai Sivatwa (ke-Siva-an, hakekat Siva) dan Buddhatwa (ke-buddha-an, hakekat Buddha) masing-masing. Setelah memberikan ajaran itu Sutasoma memerintahkan ketiga pengikutnya yang baru itu untuk menjadi bhiksu dan melakukan yoga di tempat mana pun yang mereka pilih, asal jangan bersama-sama, karena itu bertentangan dengan kebiasaan para pengikut Buddha. Ia sendiri akan melakukan yoga di puncak gunung. Para åûi yang tidak berhasil membelokkan niat Sutasoma, pulang ke rumah mereka masing-masing (38.1 – 42.6). Pada episode ini dijelaskan tentang “Bhinneka Tunggal Ika Tan hana Dharma mangrwa”, yang merupakan penjelasan bahwa hakekat dari semua agama adalah memuja Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan satu kesatuan yang tunggal atau monistik.

dikutip dari : www.parisada.org

Minggu, 20 September 2009

LELUHUR / KAWITAN

PENCARIAN LELUHUR ADALAH BENTUK BHAKTI

Sejak sesudah tahun 1965 di Bali, menurut ceritra orang-tua karena belum ada penelitian khusus mengenai hal ini, disebutkan bahwa di Bali orang-orang banyak melakukan pencarian leluhur, asal-usul atau wit-nya. Pencarian ini umumnya melalui : Balian metuunang, meneliti prasasti yang dimiliki oleh keluarga atau desa, mendatangi ahli babad, atau melakukan laku spiritual seperti meditasi di Pura-Pura Kawitan sampai pada ritual Yadnya untuk memperoleh petunjuk .Setelah ketahuan siapa leluhur atau Kawitannya itu belum cukup karena ketika orang tersebut mendatangi Mrajan Agung atau Pura Kawitan biasanya disana ada pengujiam-pengujian secara niskala misalnya kontak Pemangku dengan Bhatara Kawitan sampai melalui pusaka-pusaka peninggalan leluhur untuk disentuh atau bentuk penghormatan lainnya yang akan bisa meyakinkan Pemangku atau Sesepuh Mrajan Kawitan serta Sang pencari leluhur, bahwa memang benar wit-nya dari situ. Jadi pengujian spiritual/niskala biasanya banyak berperan dalam hal ini. Setelah jelas itu leluhurnya, maka ada upakara yang disebut ”Guru Piduka” yang tujuannya minta maaf karena tidak ingat atau tidak bhakti dengan leluhurnya untuk kurun waktu yang cukup lama. Penemuan leluhur yang tepat biasanya langsung dirasakan dalam kehidupan seseorang yang sering tidak bisa dijelaskan secara logika, seperti kenaikan pangkat, ekonomi dan kesehatan membaik, dan sebagainya. Ada pendapat seorang pengamat sejarah, yang mengatakan bahwa pencarian leluhur ini kadang-kadang menjadi salah , ketika setelah ditemukan leluhurnya ada yang kemudian menjadi angkuh/ sombong karena mengetahui, bahwa leluhurnya dahulu bernama depan I Gusti, I Dewa, atau lainnya, bahkan ada yang sampai membeli gelar, ini tentunya tidak benar.

Jika kita mundur kebelakang pada kenapa orang mencari leluhurnya, maka bisa diceritrakan sebagai berikut. Pada jaman dahulu sebut saja jaman Majapahit berkuasa di Jawa dan juga menguasai Bali, maka di Bali ditempatkan Adipati (bawahan Raja) yang disebut ”Dalem” yang pertama adalah Dalem Kresna kepakisan sekitar tahun 1350 M. Pada masa ini dan sesudahnya ada kejadian yang disebut ”Nyineb Wangsa” yaitu menyembunyikan asal-usulnya mungkin karena takut ketahuan orang lain atau penguasa waktu itu. Ada juga kejadian ”Petita Wangsa” yaitu dihilangkan asal-usulnya oleh penguasa mungkin karena faktor kesalahan atau juga politis. Atas kejadian ini banyak kemudian ”Damuh” (pratisantana kawitan/leluhur) tidak tahu asal-usulnya. Pada suatu jaman dimana damuh ingin tahu asal-usulnya yang karena kehendak Hyang Widhi atau karena orang tersebut mengalami ketidak nyamanan dalam kehidupan sehari-hari, seperti : sakit-sakitan terus, sering kena musibah, kesulitan ekonomi, dan lain sebagainya, maka ada yang kemudian beralih ke faktor niskala untuk memperoleh jawabannya. Jadi perlu digaris bawahi ,bahwa niat awal pencarian leluhur umumnya adalah faktor-faktor ini, namun jika kemudian setelah diketahui leluhurnya adalah I Gusti, I Dewa, dll lalu menjadi sombong, tentu fenomena masyarakat yang mengangungkan diri itu yang keliru dan perlu diluruskan. Pada beberapa puluh tahun yang lalu para orang tua (Tetua) mertua saya di Singaraja sepakat menghilangkan nama I Gusti didepan namanya walaupun mereka sesungguhnya keturunan I Gusti Ngurah Pinatih yang mengiringi Panji Sakti ke Singaraja. Keluarga Pinatih lainnya seperti di Denpasar misalnya tetap memakai I Gusti di depan namanya. Pada jaman itu menghilngkan nama I Gusti adalah suatu kesadaran yang luar biasa, tetapi untuk jaman sekarang sebaiknya nama I Gusti, I Dewa, Ida Bagus, dll tidak perlu dihilangkan karena itu adalah warisan leluhur dan pengingat keluarga, tetapi sikap-mental yang perlu ditingkatkan dengan merasa sesama saudara dengan lainnya. Ketika pulang ke Bali secara kebetulan saya melihat didepan mobil dijalanan ada tulisan : Sentana Arya Kenceng, Pasek Gaduh, dan mungkin ada tulisan seperti itu ditempat atau mobil lainnya, ini adalah sangat baik sebagai suatu bentuk kebanggaan pada leluhurnya, tetapi hal ini akan menjadi salah ketika kita merasa leluhur kita terbaik, tertinggi, termulia, karena ukuran itu hanya Hyang Widhi yang tahu.

Jadi kembali kepada Pencarian leluhur ini, maka para intelektual sebaiknya tidak melihat dari sisi pengetahuan atau intelektual saja melihat fenomena pencarian leluhur ini, perlu juga pendekatan rohani/spiritual, karena berbicara masalah ini adalah berbicara masalah niskala yang tidak cukup hanya dilihat dari sudut keilmuan dengan melihat fakta-fakta saja. Termasuk sebutan ”Priyayi” sebelum Era Majapahit yang ditujukan kepada : Pasek, Pande, dan Bujangga yang sama saja katanya dengan ”Priyayi” Pasca Majapahit yang dikenal dengan Tri Wangsa, ini juga tidak cukup dilihat dari sisi adanya usaha untuk mengembalikan Prestise jaman dulu, tetapi coba lihat juga dari sisi Bhakti, bahwa mereka ingin bhakti dan bangga pada leluhurnya. Jika Pasek, Pande, Bujangga, Ida bagus, I Dewa, Anak Agung, I Gusti, menganggap diri lebih tinggi dari yang lain, maka ini baru kesalahan. Jadi bagi damuh, lakukan terus Bhakti pada Bhatara Kawitan termasuk mencari asal-usul/ Wit bagi yang belum menemukan atau yang masih ragu-ragu dan mohon petunjuk pada Bhatara Kawitan dengan selalu melantunkan Puja Mantra : ”Om Siwa Rsi maha tirtham, Panca Rsi panca tirtham, Sapta Rsi catur yogam, Lingga Rsi mahalinggam, Om Ang Geng Gnijaya namah swaha, Om Ang Gnijaya jagat patya namah, Om Ung Manik Jayas’ca-Semerus’ca- Sa Ghanas ca, De Kuturan, Baradah ca ya namo namah swaha, Om Om Panca rsi Sapta Rsi paduka guru byoh namah swaha”


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar, Solo -Jawa Tengah