Minggu, 20 September 2009

LELUHUR / KAWITAN

PENCARIAN LELUHUR ADALAH BENTUK BHAKTI

Sejak sesudah tahun 1965 di Bali, menurut ceritra orang-tua karena belum ada penelitian khusus mengenai hal ini, disebutkan bahwa di Bali orang-orang banyak melakukan pencarian leluhur, asal-usul atau wit-nya. Pencarian ini umumnya melalui : Balian metuunang, meneliti prasasti yang dimiliki oleh keluarga atau desa, mendatangi ahli babad, atau melakukan laku spiritual seperti meditasi di Pura-Pura Kawitan sampai pada ritual Yadnya untuk memperoleh petunjuk .Setelah ketahuan siapa leluhur atau Kawitannya itu belum cukup karena ketika orang tersebut mendatangi Mrajan Agung atau Pura Kawitan biasanya disana ada pengujiam-pengujian secara niskala misalnya kontak Pemangku dengan Bhatara Kawitan sampai melalui pusaka-pusaka peninggalan leluhur untuk disentuh atau bentuk penghormatan lainnya yang akan bisa meyakinkan Pemangku atau Sesepuh Mrajan Kawitan serta Sang pencari leluhur, bahwa memang benar wit-nya dari situ. Jadi pengujian spiritual/niskala biasanya banyak berperan dalam hal ini. Setelah jelas itu leluhurnya, maka ada upakara yang disebut ”Guru Piduka” yang tujuannya minta maaf karena tidak ingat atau tidak bhakti dengan leluhurnya untuk kurun waktu yang cukup lama. Penemuan leluhur yang tepat biasanya langsung dirasakan dalam kehidupan seseorang yang sering tidak bisa dijelaskan secara logika, seperti kenaikan pangkat, ekonomi dan kesehatan membaik, dan sebagainya. Ada pendapat seorang pengamat sejarah, yang mengatakan bahwa pencarian leluhur ini kadang-kadang menjadi salah , ketika setelah ditemukan leluhurnya ada yang kemudian menjadi angkuh/ sombong karena mengetahui, bahwa leluhurnya dahulu bernama depan I Gusti, I Dewa, atau lainnya, bahkan ada yang sampai membeli gelar, ini tentunya tidak benar.

Jika kita mundur kebelakang pada kenapa orang mencari leluhurnya, maka bisa diceritrakan sebagai berikut. Pada jaman dahulu sebut saja jaman Majapahit berkuasa di Jawa dan juga menguasai Bali, maka di Bali ditempatkan Adipati (bawahan Raja) yang disebut ”Dalem” yang pertama adalah Dalem Kresna kepakisan sekitar tahun 1350 M. Pada masa ini dan sesudahnya ada kejadian yang disebut ”Nyineb Wangsa” yaitu menyembunyikan asal-usulnya mungkin karena takut ketahuan orang lain atau penguasa waktu itu. Ada juga kejadian ”Petita Wangsa” yaitu dihilangkan asal-usulnya oleh penguasa mungkin karena faktor kesalahan atau juga politis. Atas kejadian ini banyak kemudian ”Damuh” (pratisantana kawitan/leluhur) tidak tahu asal-usulnya. Pada suatu jaman dimana damuh ingin tahu asal-usulnya yang karena kehendak Hyang Widhi atau karena orang tersebut mengalami ketidak nyamanan dalam kehidupan sehari-hari, seperti : sakit-sakitan terus, sering kena musibah, kesulitan ekonomi, dan lain sebagainya, maka ada yang kemudian beralih ke faktor niskala untuk memperoleh jawabannya. Jadi perlu digaris bawahi ,bahwa niat awal pencarian leluhur umumnya adalah faktor-faktor ini, namun jika kemudian setelah diketahui leluhurnya adalah I Gusti, I Dewa, dll lalu menjadi sombong, tentu fenomena masyarakat yang mengangungkan diri itu yang keliru dan perlu diluruskan. Pada beberapa puluh tahun yang lalu para orang tua (Tetua) mertua saya di Singaraja sepakat menghilangkan nama I Gusti didepan namanya walaupun mereka sesungguhnya keturunan I Gusti Ngurah Pinatih yang mengiringi Panji Sakti ke Singaraja. Keluarga Pinatih lainnya seperti di Denpasar misalnya tetap memakai I Gusti di depan namanya. Pada jaman itu menghilngkan nama I Gusti adalah suatu kesadaran yang luar biasa, tetapi untuk jaman sekarang sebaiknya nama I Gusti, I Dewa, Ida Bagus, dll tidak perlu dihilangkan karena itu adalah warisan leluhur dan pengingat keluarga, tetapi sikap-mental yang perlu ditingkatkan dengan merasa sesama saudara dengan lainnya. Ketika pulang ke Bali secara kebetulan saya melihat didepan mobil dijalanan ada tulisan : Sentana Arya Kenceng, Pasek Gaduh, dan mungkin ada tulisan seperti itu ditempat atau mobil lainnya, ini adalah sangat baik sebagai suatu bentuk kebanggaan pada leluhurnya, tetapi hal ini akan menjadi salah ketika kita merasa leluhur kita terbaik, tertinggi, termulia, karena ukuran itu hanya Hyang Widhi yang tahu.

Jadi kembali kepada Pencarian leluhur ini, maka para intelektual sebaiknya tidak melihat dari sisi pengetahuan atau intelektual saja melihat fenomena pencarian leluhur ini, perlu juga pendekatan rohani/spiritual, karena berbicara masalah ini adalah berbicara masalah niskala yang tidak cukup hanya dilihat dari sudut keilmuan dengan melihat fakta-fakta saja. Termasuk sebutan ”Priyayi” sebelum Era Majapahit yang ditujukan kepada : Pasek, Pande, dan Bujangga yang sama saja katanya dengan ”Priyayi” Pasca Majapahit yang dikenal dengan Tri Wangsa, ini juga tidak cukup dilihat dari sisi adanya usaha untuk mengembalikan Prestise jaman dulu, tetapi coba lihat juga dari sisi Bhakti, bahwa mereka ingin bhakti dan bangga pada leluhurnya. Jika Pasek, Pande, Bujangga, Ida bagus, I Dewa, Anak Agung, I Gusti, menganggap diri lebih tinggi dari yang lain, maka ini baru kesalahan. Jadi bagi damuh, lakukan terus Bhakti pada Bhatara Kawitan termasuk mencari asal-usul/ Wit bagi yang belum menemukan atau yang masih ragu-ragu dan mohon petunjuk pada Bhatara Kawitan dengan selalu melantunkan Puja Mantra : ”Om Siwa Rsi maha tirtham, Panca Rsi panca tirtham, Sapta Rsi catur yogam, Lingga Rsi mahalinggam, Om Ang Geng Gnijaya namah swaha, Om Ang Gnijaya jagat patya namah, Om Ung Manik Jayas’ca-Semerus’ca- Sa Ghanas ca, De Kuturan, Baradah ca ya namo namah swaha, Om Om Panca rsi Sapta Rsi paduka guru byoh namah swaha”


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar, Solo -Jawa Tengah

Untuk Siapa Kita Berdana Punia?

Seorang wanita yang kebetulan adalah karyawati perusahaan swasta di Jakarta, ngomel terus di hadapan suaminya saat sehabis membaca sebuah berita di koran. Berita tersebut rupanya sangat menyesakkan dadanya. "Ayah, coba baca berita di koran ini!" pintanya kepada sang suami. "Selama ini percuma saya telah memberikan uang kepada pengemis di jalanan." Menurut berita itu, rupanya uang itu diserahkan kepada koordinatornya dan oleh sang koordinator uang hasil mengemis itu digunakan untuk foya-foya.

"Sudahlah, Ibu tidak usah uring-uringan seperti itu! Dulu katanya ikhlas memberi kepada mereka, para pengemis. Mengapa sekarang diributkan?". Sang suami mencoba menenangkan istrinya. 
 
 

apa makna catur warna yg sebenarnya??

Dalam agama Hindu terdapat ajaran Catur Warna yang selama ini dimaknai sebagai pembagian tugas dalam masyarakat yang terdiri dari empat bidang, yakni Brahmana, Ksatria, Wesya, dan Sudra. Brahmana adalah golongan masyarakat yang dalam kehidupan sehari-harinya mengantarkan upacara keagamaan, mendalami ajaran Hindu, serta melakukan pembinaan kerohanian kepada umat Hindu. Termasuk kelompok ini adalah para Sulinggih, Pinandita, dan guru agama Hindu.

Ksatria adalah golongan masyarakat yang bertugas melindungi masyarakat serta menjalankan pemerintahan. Para birokrat beserta jajarannya termasuk dalam golongan ini. Pada jaman dahulu yang termasuk golongan ini adalah raja, patih, punggawa, dan sejenisnya.

Kalau Ksatria bertugas menggerakkan roda pemerintahan, golongan Wesya adalah kelompok masyarakat yang bertugas menggerakkan roda perekonomian. Yang masuk kelompok ini adalah para pengusaha, pedagang, dan sejenisnya. Terakhir, golongan Sudra adalah golongan masyarakat yang bertugas melayani ketiga golongan di atas.

Penjelasan makna dari Catur Warna seperti di atas merupakan pemaknaan yang telah menjadi pegangan sebagian besar umat Hindu di Indonesia selama ini. Disadari atau tidak, pemaknaan demikian telah membagi dan mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan peran masing-masing golongan. Seperti contoh percakapan di atas, karena merasa dirinya seorang pengusaha yang termasuk kategori Wesya, orang tersebut merasa tidak perlu mendalami ajaran Hindu. Dia sudah merasa cukup berperan sebagai seorang Wesya. Urusan agama sudah ada yang menangani, yakni para guru agama Hindu di sekolah yang termasuk golongan Brahmana.

Demikian juga dengan fenomena pejabat tadi. Walaupun kariernya sebagai birokrat tergolong moncer, tetapi dia merasa minder dalam urusan ajaran agama. Sebenarnya peran sebagai seorang Ksatria sudah dijalaninya dengan sukses. Di samping sudah terbiasa memimpin rapat-rapat penting, pejabat tersebut juga dapat dengan lancarnya memberikan pengarahan-pengarahan kepada anak buahnya. Bahkan, wacana tentang nilai-nilai kehidupan terkadang muncul juga di sela-sela pengarahannya. Hal ini berarti pejabat tadi sesungguhnya sudah mumpuni untuk memberikan Dharma Wacana. Berbagai pengalaman sepanjang kariernya sebagai birokrat, jika dikaitkan dengan ajaran-ajaran yang dimiliki agama Hindu, merupakan bahan Dharma Wacana bagus yang dapat menginspirasi umat Hindu lainnya. Akan tetapi, akibat penghayatan terhadap Catur Warna yang telah melekat selama ini, pejabat tadi tidak tertarik untuk mempelajari agama karena mendalami ajaran agama adalah tugas seorang Brahmana.

Apakah kondisi tersebut akan kita biarkan terus berlangsung? Jawabannya pasti tidak. Untuk itu, marilah kita telusuri kembali secara cermat apa sesungguhnya makna Catur Warna.

Catur Warna sejatinya adalah empat warna atau fungsi yang melekat pada diri seseorang. Keempatnya melekat pada diri seseorang. Sebagai contoh adalah seorang ayah. Peran (fungsi) Brahmana wajib dilakoninya dalam rangka memberikan pendidikan agama kepada anak-anaknya. Seorang ayah bertanggung jawab atas perkembangan pendidikan agama anaknya. Seorang ayah mesti ikut mengajarkan nilai-nilai keagamaan untuk anaknya. Kalau selama ini pendidikan agama Hindu diserahkan begitu saja kepada guru-guru agama, baik di sekolah maupun di Pesraman (Pura), maka mulai saat ini sebaiknya seorang ayah mulai ikut mengambil peran dan bertanggung jawab atas pendidikan agama bagi anak-anaknya. Peran Brahmana yang seharusnya melekat pada dirinya yang selama ini seolah-olah terabaikan, sebaiknya berangsur-angsur mulai dijalankan.

Di samping sebagai Brahmana, seorang ayah adalah juga seorang Ksatria. Dia adalah seorang kepala keluarga, pemimpin keluarga yang bertanggung jawab mengarahkan tujuan berumah tangga. Jiwa kepimpinan mesti dimiliki seorang ayah, sehingga mampu mengarahkan perjalanan hidup anggota keluarga lainnya menuju kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.

Seorang ayah adalah juga seorang Wesya yang bertanggung jawab memperoleh penghasilan untuk kelancaran perekonomian keluarga. Peran Wesya sangat sentral dalam keluarga. Ayahlah seharusnya yang menjadi penopang ekonomi keluarga. Kondisi finansial keluarga sangat berpengaruh terhadap kemajuan pendidikan anak-anaknya. Kondisi ekonomi yang mapan akan mampu menghantarkan keluarga menuju kemakmuran dan kesejahteraan.

Warna Sudra merupakan fungsi yang tidak kalah pentingnya bagi seorang ayah. Ayah harus bisa melayani kepentingan istri, anak, serta anggota keluarga lainnya. Peran sebagai pelayan bukan berarti merendahkan martabat seseorang. Melayani orang lain sejatinya adalah melayani diri sendiri. Aktivitas melayani akan mendorong tubuh untuk memproduksi hormon yang menyehatkan.

Berdasarkan uraian di atas, jelas-jelas terlihat bahwa Catur Warna melekat pada diri seseorang dan mesti dijalankan keempatnya, walaupun dengan porsi yang berbeda-beda. Khusus untuk Warna Brahmana, marilah kita mulai mendalami ajaran agama Hindu sebaik-baiknya. Mari kita maknai ajaran agama kita, sehingga dengan makna tersebut bisa mengantarkan kita menuju kehidupan yang lebih baik, lebih sukses, lebih bahagia, dan lebih sejahtera. Berdasarkan pemahaman yang kita dapatkan, marilah kita ajarkan kepada anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa. Di samping kepada anak-anak kita, pemahaman yang diperoleh tersebut dapat juga disampaikan kepada orang lain, baik di sampaikan secara langsung, maupun lewat tulisan. Yakinlah, apa yang kita sampaikan akan dapat menjadi inspirasi bagi orang lain.

Om Shanti Shanti Shanti Om
Posted by I Nyoman Widia at 10:11