Rabu, 23 September 2009

Mangku Suro (Indonesia) menulispada 15 September 2009 jam 21:29
BALI POST
» Berita Ajeg Bali
15 September 2009 | BP

Tikus Putih dan Poleng Muncul

Warga Ababi Mesti Gelar Ngaben Tikus

Ketua Badan Perwakilan Desa Ababi, Karangasem I Ketut Semadiyasa mengatakan, berbagai cara sudah ditempuh petani di berbagai subak di desa Ababi, Karangasem guna menanggulangi hama tikus. Namun, hama pengerat itu tak tertanggulangani, bahkan cenderung membanyak, sehingga merugikan petani setempat sampai 90 persen bahkan gagal panen total karena sejak bibit sudah terserang. Menurutnya Selasa (15/9) di Amlapura, dari segi luas areal yang terserang jika dilihat dari total luas persawahan di kecamatan Abang, memang terlihat kecil. Namun petani di persawahan dan ladang di desa Ababi dan sekitarnya, selama ini sangat dirugikan. ‘’Hampir 90 persen tanaman petani ludes diserang, bahkan mulai dari bibit. Jadi apa yang mereka makan?’’ katanya.

Serangan tikus bahkan dilaporkan sudah ada sampai ke wilayah Basangalas. Salah seorang petani desa setempat Made Rangki mengatakan, padinya di serang tikus meski belum berbuah tetapi dari pangkalnya dikerat. Di Ababi tak hanya di sawah, juga menyerang ke ladang tak hanya padi dari bibit, tetapi juga cabai, ketela rambat dan ketela pohon. Diakui Semadiyasa, pihak Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Karangasem melalui PPL sudah pernah membantu 12 alat pengempos dan belereng. Alat itu dipakai ratusan petani melakukan pengropyokkan tikus bulan lalu. Namun cara skala itu belum mampu menanggulangi populasi hama tikus. Ratusan tikus yang berhasil ditangkap dikuliti. Sebelumnya juga sudah dilakukan peneduh di pura puseh dan sejumlah pura lainnya di desa pakraman Ababi. ‘’Kulit tikus itu dipakai sarana saat pengabenan.

Prosesi dan bebantenannya nyaris sama dengan me-ngaben-kan orang. Juga memakai pengiriman, dan anggaran yang kita susun biayanya mencapai Rp 75 juta. Ini apa sepenuhnya mampu ditanggung petani? Selama ini upacara itu lama tak mampu digelar karena terbatasnya kemampuan petani,’’ paparnya. Dikatakan masih ada satu ritual yang belum dilakukan yakni pengabenan jero ketut (tikus). Upacara itu zaman dulu rutin digelar tiap 10 tahun sesuai bhisama. Di mana, saat mrana (hama tikus) merajalela, apalagi kalau sudah muncul tikus berbulu merah, poleng atau putih. ‘’Ada beberapa orang sekitar enam bulan lalu melihat tikus besar berbulu putih. Sejumlah tikus lainnya yang berbulu coklat atau hitam, membawakan tikus putih itu padi ke tempatnya di pohon,’’ kata Semadiyasa.

Pengabenan tikus di desa setempat direncanakan pada sasih kapitu ini, sekitar pertengahan Desember sampai Januari. Pengabenan tikus di desa setempat terakhir tahun 1992, yakni sudah 17 tahun. ‘’Jadi dari segi logika, sudah 17 tahun tak digelar ngaben tikus, tentu kini populasinya sudah sangat ban

Tidak ada komentar:

Posting Komentar